A.
KELUARGA
INTI DAN KELUARGA BESAR
1. Konsep Keluarga Inti
Alasan
mendasar terbentuknya keluarga adalah pemenuhan kebutuhan biologis manusia,
dalam bentuk perkawinan pria dan wanita. Pria membutuhkan wanita dan wanita
membutuhkan pria, maka mereka akan saling mencari dan saling bertemu. Hubungan
kasih sayang dan saling mencintai ini kemudian diwujudkan dalam ikatan
perkawinan.
Dalam ikatan
perkawinan, pria berstatus suami berfungsi sebagai kepala keluarga, sedangkan
wanita berstatus istri berfungsi sebagai ibu rumah tangga. Ikatan suami istri
merupakan awal suatu kelahiran anak sebagai penerus generasi dari ikatan yang
sudah terbentuk, maka terbentuklah unit masyarakat terkecil disebut “keluarga”.
Suami menanam benih keturunan di rahim istri disebut “ayah”, sedangkan istri
yang hamil dari suaminya disebut “ibu”.
Jadi, keluarga
adalah “kesatuan antara suami sebagai ayah, dan istri sebagai ibu, serta anak
sebagai keturunan mereka”. Keluarga dalam arti ini disebut “keluarga inti” (kern familie). Suami sebagai ayah adalah
kepala keluarga, istri sebagai ibu adalah ibu rumah tangga, anak sebagai
keturunan mereka adalah penerus generasi. Keluarga dalam arti sempit meliputi
ayah, ibu, dan anak keturunan mereka atas dasar ikatan perkawinan dan hubungan
darah.
2.
Konsep
Keluarga Besar
Keluarga besar
merupakan perluasan dari keluarga ini/keluarga sempit, yang didasarkan pada
ikatan perkawinan dan hubungan darah. Mereka yang menjadi anggota keluarga
besar atas dasar :
a. Ikatan
perkawinan keluarga inti, yaitu ayah dan ibu mertua, kakek dan nenek mertua,
paman dan bibi mertua, kakak dan adik ipar, serta cucu mertua.
b. Hubungan
darah, yaitu ayah dan ibu kandung, kakek dan nenek kandung, paman dan bibi
kandung, kakak dan adik kandung, serta cucu kandung.
Namun, hubungan
pengikat dalam konsep keluarga besar ini tidak lagi hanya ikatan perkawinan dan
hubungan darah, tetapi sudah berkembang lebih dari itu. Ada beberapa hubungan
pengikat yang lain dalam konsep keluarga besar tersebut, yaitu :
a. Asal
etnis (suku, daerah asal);
b. Sejarah
leluhur (garis keturunan);
c. Pandangan
hidup (ideologi);
d. Agama
dan kepercayaan (religi);
e. Tradisi
atau adat istiadat (norma kebiasaan); dan
f. Solidaritas
dan saling ketergantungan.
Konsep keluarga
besar berdasarkan hubungan pengikat yang lain dapat diketahui dari kenyataan
dan dibuktikan dengan munculnya konsep, seperti Keluarga Besar Siliwangi
(etnis), Keluarga Perantau Minangkabau (daerah asal), Keluarga Besar Beringin
(ideologi), ataupun Keluarga Besar Muhammadiyah (agama dan kepercayaan).
Beberapa
hubungan pengikat tersebut didasari oleh berbagai faktor sosial yang
mengakibatkan mereka tetap merasa dalam ikatan keluarga besar. Faktor-faktor
sosial tersebut, antara lain :
a. Faktor
sosial psikologis, yaitu rasa kasih sayang yang sudah tertanam, tidak mau
berpisah dari kelompok, filosofi makan tidak makan kumpul bersama.
b. Faktor
sosial budaya, yaitu cara hidup, pola perilaku, dan lingkungan geografis.
c. Faktor
sosial ekonomi, yaitu kemiskinan, pekerjaan tidak tetap, penghasilan kecil, dan
pendidikan rendah, yang menumbuhkan solidaritas dan saling ketergantungan.
Keluarga besar
berdasarkan ikatan perkawinan dan hubungan darah dapat dijumpai di berbagai
daerah, terutama di lingkungan masyarakat pedesaan. Keluarga besar dengan pola
hidup mereka merupakan sistem sosial yang sudah membudaya sebagai warisan
leluhur.
Namun, makin
maju dan meningkat penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, maikn banyak
pengaruh budaya eksternal yang positif. Tradisi, solidaritas, dan saling
ketergantungan berangsur-angsur melemah dan ditinggalkan bahkan cenderung
beralih ke konsep keluarga inti.
3.
Tipe-tipe
Keluarga Besar
Keluarga besar
berdasarkan ikatan perkawinan dan hubungan darah dapat dibedakan menjadi 3
(tiga) tipe, yaitu keluarga besar patrilineal, keluarga besar matrilineal, dan
keluarga besar parental (bilateral).
a.
Keluarga
besar pantrilineal
Keluarga besar patrilineal adalah keluarga
besar yang mengutamakan garis keturunan pihak ayah. Pada keluarga besar
pantrilineal, ayah memiliki status yang lebih tinggi dengan peran dan otoritas
yang lebih besar dalam budaya keluarga. Anak laki-laki dalah keturunan yang
lebih diutamakan daripada anak perempuan dalam kehidupan keluarga serta
kelangsungan generasi dan budaya. Dalam pengembangan dan pemeliharaan budaya
keluarga, laki-laki mempunyai peran lebih besar dan otoritas yang menentukan
putusan akhir.
Keunggulan keluarga besar patrilineal
adalah garis keturunan laki-laki dijaga terus kelangsungannya apalagi jika
berasal dari bibit keluarga unggul atau keluarga berbobot atau keluarga
ningrat. Kemungkinan terjadi generasi yang hilang dapat dicegah melalui
perkawinan poligami. Kelemahan keluarga besar patrilineal adalah terdapat
diskriminasi status, peran, dan otoritas antara laki-laki dan [3]perempuan.
Dalam pengambilan keputusan keluarga, perempuan hampir tidak dengar pendapatnya dan tidak mempunyai
otoritas. Keputusan akhir ada pada pihak laki-laki yang cenderung otoriter.
b.
Keluarga
besar matrilineal
Keluarga besar matrilineal adalah
keluarga besar yang mengutamakan garis keturunan pihak ibu. Pada keluarga besar
matrilineal, ibu memiliki peran dan otoritas yang lebih besar dalam budaya keluarga,
tetapi peran dan otoritas tersebut dijalankan oleh saudara laki-laki ibu
sebagai paman anak-anaknya. Paman mempunyai status, peran, dan otoritas dalam
kehidupan keluarga yang bertanggung jawab dalam pengurusan anak keponakannya,
kelangsungan generasi dan budaya.
Keunggulan keluarga besar
matrilineal adalah perempuan menduduki posisi strategis dalam kehidupan
keluarga walupun perannya diwakilkan kepada paman (saudara laki-laki kandung)
pihak perempuan, seperti mengurus anak-anak. Kelemahannya, ayah sebagai
laki-laki yang seharusnya bertanggung jawab mengurus anak-anaknya, justru
berperan sebagai paman yang mengurus anak keponakannya di lingkungan keluarga
saudara perempuannya.
c.
Keluarga
besar parental (bilateral)
Keluarga besar parental (bilateral)
adalah keluarga besar yang berdasarkan garis keturunan ayah dan ibu. Ayah dan
ibu mempunyai status dan peran serta otoritas yang sama dalam keluarga. Dalam
perkembangan dan pemeliharaan budaya keluarga, garis keturunan pihak ayah dan
ibu kedua-duanya mempunyai peran dan otoritas yang setara dann seimbang.
Keunggulan keluarga besar parental
(bilateral) adalah tidak membeda-bedakan status dan peran laki-laki atau
perempuan dalam kehidupan keluarga. Kelemahannya adalah karena keseimbangan
status, peran, dan otoritas pihak ayah dan ibu, maka dapat terjadi bahwa ibu
berperan sebagai pencari nafkah dan mengurus keluarga.
B.
FUNGSI
KELUARGA
1.
Fungsi
Penerus Generasi
Keluarga
adalah unit masyarakat terkecil yang terdiri dari ayah dan ibu serta anak
keturunan ayah dan ibu. Lahirnya anak adalah akibat dari perkawinan suami dan
istri. Perkawinan merupakan realisasi pemenuhan kebutuhan biologis (seksual)
manusia yang berlainan jenis kelamin. Pemenuhan kebutuhan biologis hanya dapat
dipenuhi dengan sempurna apabila terjadi hubungan seksual antara pria dan
wanita. Jika demikian, tujuan pertama perkawinan adalah terpenuhinya kebutuhan
biologis (seksual) dan lahirnya anak. Dalam hal ini, keluarga berfungsi sebagai
“penerus generasi”, tanpa keluarga tidak ada generasi berikutnya. Fungsi ini
disebut juga sebagai “fungsi seksual reproduktif”.
Penerus generasi
bergantung pada keberhasilan suami dan istri dalam pemenuhan kebutuhan biologis
mereka. Keberhasilan tersebut dibuktikan dengan kelahiran anak akibat hubungan
seksual yang mereka lakukan. Anak mereka kemudian menjadi dewasa dan
melangsungkan perkawinan pula, sehingga tebentuk keluarga generasi kedua yang
diturunkan dari orangtua mereka, dan disusul oleh generasi berikutnya. Karena
penerus generasi tadi berasal dari lingkunan keluarga sebelumnya, maka sistem
nilai budaya pun ikut dikembangakan terus pada dan oleh generasi berikutnya.
Ada juga
kemungkinan bahwa pemebuhan kebutuhan biologis suami istri hanya sebatas
menhasilkan kenikmatan dan kepuasan, tetapi tidak berhasil membuahkan kelahiran
anak walaupun sudah ditempuh berbagai upaya. Dalam hal ini, terjadi generasi
yang hilang atau terputus (lost generation). Dalam kehidupan masyarakat, tidak
tercapainya akbita perkawinan masih dapat diatasi dengan cara “pengangkatan
anak” (adopsi). Meskipun generasi yang hilang diganti dengan adopsi, mungkin
justru adopsi tersebut mendatangkan kebahagiaan dan ketentraman hidup keluarga
yang lebih berhasil guna. Hal ini bergantung pada keberhasilan keluarga
memelihara, mendidik, dan membimbing anak angkat itu hingga menjadi manusia
beriman dan bertaqwa kepad Tuhan YME.
Hukum yang hidup
dalam masyarakat makin berkembang, hukum perundang-undangan diperkaya dengan
konsep-konsep yang berkaitan dengan anak angkat, yurisprudensi maikn terarah
dan menjadi pegangan positif bangi keluarga, masyarakt luas, dan para ahli
hukum.
2.
Fungsi
Budaya dan Sistem Nilai Budaya
Keluarga adalah pusat interaksi sosial
pertama suami dan istri kemudian ditambah anak yang lahir dari hubungan suami
dan istri. Karena interaksi tersebut berlangsung lama dan terus-menerus, maka
terbentuklah sistem nilai budaya yang bersifat normatif dalam lingkungan
keluarga yang menjadi pedoman hidup anggota keluarga.
Karena keluarga
itu awal dari kehidupan bermasyarakat, maka perubahan sistem nilai akan terjadi
pula dalam lingkungan masyarakat yang lebih luas. Faktor internal yang
mempengeruhi kehidupan keluarga antara lain :
a.
Kemauan
kerja keras menghidupi keluarga;
b.
Melindungi
anggota keluarga;
c.
Memberi
contoh berbuat baik kepada keluarga dan lingkungan hidupnya;
d.
Kemampuan
menciptakan norma moral bagi kehidupan keluarga.
Apabila terjadi
perubahan sistem nilai pada ayah, akan diikuti pula oleh anggota keluarganya.
Apabila perubahan sistem nilai itu positif menuju pada kebaikan dan
kesejahteraan, hal ini menjadi faktor pendorong ke arah perkembangan budaya
yang lebih maju dan sehat. Contoh perubahan sistem nilai positif itu, antara
lain :
a.
Budaya
malas dan pasif berubah menjadi budaya aktif, kreatif, dan produktif.
b.
Budaya
komunikasi kurang terbuka dalam keluarga berubah menjadi budaya kasih sayang,
ramah, serta suka memperhatikan dan menghargai pendapat anggota keluarga.
Sebaliknya,
apabila perubahan sistem nilai yang dicontohkan ayah itu negatif, hal ini akan
menimbulkan dampak yang merugikan nilai-nilai kehidupan keluarga. Dampak
merugikan dapat berbentuk peniruan mentah-mentah oleh anggota keluarga terhadap
kelakuan yang dicontohkan ayah, bahkan mungkin akan ditiru juga oleh anggota
masyarakat di lingkungannya. Beberapa contoh perubahan sistem nilai negatif,
antara lain :
a.
Peniruan
budaya Barat tanpa menghuraukan aspek keburukannya.
b.
Budaya
paguyuban berubah menjadi budaya pamrih (komersial).
c.
Kemauan
kerja keras yang produktif berubah menjadi suka bersantai dan konsumif.
d.
Tutur
bahasa halus berubah menjadi kasar dalam pergaulan keluarga.
e.
Pergaulan
santun berubah menjadi bebas yang mengabaikan etika.
f.
Busana
tertutup berubah menjadi mode terbuka dan merangsang.
Adapun
bentuk-bentuk reaksi dan sikap oposisi, antara lain tercermin pada keadaan berikut ini :
a.
Pembangkangan,
kebencian, ataupun permusuhan dalam keluarga.
b.
Interaksi
dan komunikasi dalam keluarga makin berkurang dan tidak berarti.
c.
Rasa
hormat, saling menghargai, dan kasih sayang dalam keluarga makin pudar dan
menjadi kurang bermakna.
d.
Keberlakuan
norma kehidupan keluarga mulai kendur dan cenderung dilanggar.
e.
Pergi
dari dan datang ke rumah tidak pernah lagi terdengar ucapan salam santun.
Faktor eksternal
dapat mengubah sistem nilai keluarga menuju ke arah perbaikan dan peningkatan
kualitas hidup yang lebih baik daripada keadaan sebelumnya antara lain :
a.
Pendidikan,
pelatihan, dan penyuluhan.
b.
Kegiatan
keagamaan.
c.
Pergaulan
dan komunikasi.
d.
Pembauran
dalam kelompok masyarakat.
e.
Adaptasi
budaya setempat dan budaya pendatang.
3. Fungsi Pendidikan
Dalam pembinaan keluarga, pendidikan
pertama bermula dari orangtua di lingkungan keluarga sebelum ke lingkungan
sekolah. Pendidikan anak di sekolah sesungguhnya adalah perluasan dan
peningkatan dari pendidikan anak di lingkungan keluarga. Dengan kata lain, guru
di sekolah adalah perpanjangan dari orangtua di lingkungan keluarga.
Oleh
karena itu, ayah sebagai kepala keluarga merupakan figur kunci keberhasilan
kesejahteraan keluarga, sedangkan ibu sebagai ibu rumah tangga merupakan figur
kunci keberhasilan “pendidikan terapan” bagi anak dalam lingkungan keluarga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar