MY WEB

Kamis, 06 Oktober 2016

KELUARGA DAN FUNGSI KELUARGA

A.    KELUARGA INTI DAN KELUARGA BESAR
1.      Konsep Keluarga Inti
Alasan mendasar terbentuknya keluarga adalah pemenuhan kebutuhan biologis manusia, dalam bentuk perkawinan pria dan wanita. Pria membutuhkan wanita dan wanita membutuhkan pria, maka mereka akan saling mencari dan saling bertemu. Hubungan kasih sayang dan saling mencintai ini kemudian diwujudkan dalam ikatan perkawinan.
Dalam ikatan perkawinan, pria berstatus suami berfungsi sebagai kepala keluarga, sedangkan wanita berstatus istri berfungsi sebagai ibu rumah tangga. Ikatan suami istri merupakan awal suatu kelahiran anak sebagai penerus generasi dari ikatan yang sudah terbentuk, maka terbentuklah unit masyarakat terkecil disebut “keluarga”. Suami menanam benih keturunan di rahim istri disebut “ayah”, sedangkan istri yang hamil dari suaminya disebut “ibu”.
Jadi, keluarga adalah “kesatuan antara suami sebagai ayah, dan istri sebagai ibu, serta anak sebagai keturunan mereka”. Keluarga dalam arti ini disebut “keluarga inti” (kern familie). Suami sebagai ayah adalah kepala keluarga, istri sebagai ibu adalah ibu rumah tangga, anak sebagai keturunan mereka adalah penerus generasi. Keluarga dalam arti sempit meliputi ayah, ibu, dan anak keturunan mereka atas dasar ikatan perkawinan dan hubungan darah.

2.      Konsep Keluarga Besar
Keluarga besar merupakan perluasan dari keluarga ini/keluarga sempit, yang didasarkan pada ikatan perkawinan dan hubungan darah. Mereka yang menjadi anggota keluarga besar atas dasar :
a.       Ikatan perkawinan keluarga inti, yaitu ayah dan ibu mertua, kakek dan nenek mertua, paman dan bibi mertua, kakak dan adik ipar, serta cucu mertua.
b.      Hubungan darah, yaitu ayah dan ibu kandung, kakek dan nenek kandung, paman dan bibi kandung, kakak dan adik kandung, serta cucu kandung.
Namun, hubungan pengikat dalam konsep keluarga besar ini tidak lagi hanya ikatan perkawinan dan hubungan darah, tetapi sudah berkembang lebih dari itu. Ada beberapa hubungan pengikat yang lain dalam konsep keluarga besar tersebut, yaitu :
a.       Asal etnis (suku, daerah asal);
b.      Sejarah leluhur (garis keturunan);
c.       Pandangan hidup (ideologi);
d.      Agama dan kepercayaan (religi);
e.       Tradisi atau adat istiadat (norma kebiasaan); dan
f.       Solidaritas dan saling ketergantungan.
Konsep keluarga besar berdasarkan hubungan pengikat yang lain dapat diketahui dari kenyataan dan dibuktikan dengan munculnya konsep, seperti Keluarga Besar Siliwangi (etnis), Keluarga Perantau Minangkabau (daerah asal), Keluarga Besar Beringin (ideologi), ataupun Keluarga Besar Muhammadiyah (agama dan kepercayaan).
Beberapa hubungan pengikat tersebut didasari oleh berbagai faktor sosial yang mengakibatkan mereka tetap merasa dalam ikatan keluarga besar. Faktor-faktor sosial tersebut, antara lain :
a.       Faktor sosial psikologis, yaitu rasa kasih sayang yang sudah tertanam, tidak mau berpisah dari kelompok, filosofi makan tidak makan kumpul bersama.
b.      Faktor sosial budaya, yaitu cara hidup, pola perilaku, dan lingkungan geografis.
c.       Faktor sosial ekonomi, yaitu kemiskinan, pekerjaan tidak tetap, penghasilan kecil, dan pendidikan rendah, yang menumbuhkan solidaritas dan saling ketergantungan.
Keluarga besar berdasarkan ikatan perkawinan dan hubungan darah dapat dijumpai di berbagai daerah, terutama di lingkungan masyarakat pedesaan. Keluarga besar dengan pola hidup mereka merupakan sistem sosial yang sudah membudaya sebagai warisan leluhur.
Namun, makin maju dan meningkat penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, maikn banyak pengaruh budaya eksternal yang positif. Tradisi, solidaritas, dan saling ketergantungan berangsur-angsur melemah dan ditinggalkan bahkan cenderung beralih ke konsep keluarga inti.

3.      Tipe-tipe Keluarga Besar
Keluarga besar berdasarkan ikatan perkawinan dan hubungan darah dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) tipe, yaitu keluarga besar patrilineal, keluarga besar matrilineal, dan keluarga besar parental (bilateral).
a.      Keluarga besar pantrilineal
Keluarga besar patrilineal adalah keluarga besar yang mengutamakan garis keturunan pihak ayah. Pada keluarga besar pantrilineal, ayah memiliki status yang lebih tinggi dengan peran dan otoritas yang lebih besar dalam budaya keluarga. Anak laki-laki dalah keturunan yang lebih diutamakan daripada anak perempuan dalam kehidupan keluarga serta kelangsungan generasi dan budaya. Dalam pengembangan dan pemeliharaan budaya keluarga, laki-laki mempunyai peran lebih besar dan otoritas yang menentukan putusan akhir.
Keunggulan keluarga besar patrilineal adalah garis keturunan laki-laki dijaga terus kelangsungannya apalagi jika berasal dari bibit keluarga unggul atau keluarga berbobot atau keluarga ningrat. Kemungkinan terjadi generasi yang hilang dapat dicegah melalui perkawinan poligami. Kelemahan keluarga besar patrilineal adalah terdapat diskriminasi status, peran, dan otoritas antara laki-laki dan [3]perempuan. Dalam pengambilan keputusan keluarga, perempuan hampir  tidak dengar pendapatnya dan tidak mempunyai otoritas. Keputusan akhir ada pada pihak laki-laki yang cenderung otoriter.


b.      Keluarga besar matrilineal
Keluarga besar matrilineal adalah keluarga besar yang mengutamakan garis keturunan pihak ibu. Pada keluarga besar matrilineal, ibu memiliki peran dan otoritas yang lebih besar dalam budaya keluarga, tetapi peran dan otoritas tersebut dijalankan oleh saudara laki-laki ibu sebagai paman anak-anaknya. Paman mempunyai status, peran, dan otoritas dalam kehidupan keluarga yang bertanggung jawab dalam pengurusan anak keponakannya, kelangsungan generasi dan budaya.
Keunggulan keluarga besar matrilineal adalah perempuan menduduki posisi strategis dalam kehidupan keluarga walupun perannya diwakilkan kepada paman (saudara laki-laki kandung) pihak perempuan, seperti mengurus anak-anak. Kelemahannya, ayah sebagai laki-laki yang seharusnya bertanggung jawab mengurus anak-anaknya, justru berperan sebagai paman yang mengurus anak keponakannya di lingkungan keluarga saudara perempuannya.

c.       Keluarga besar parental (bilateral)
Keluarga besar parental (bilateral) adalah keluarga besar yang berdasarkan garis keturunan ayah dan ibu. Ayah dan ibu mempunyai status dan peran serta otoritas yang sama dalam keluarga. Dalam perkembangan dan pemeliharaan budaya keluarga, garis keturunan pihak ayah dan ibu kedua-duanya mempunyai peran dan otoritas yang setara dann seimbang.
Keunggulan keluarga besar parental (bilateral) adalah tidak membeda-bedakan status dan peran laki-laki atau perempuan dalam kehidupan keluarga. Kelemahannya adalah karena keseimbangan status, peran, dan otoritas pihak ayah dan ibu, maka dapat terjadi bahwa ibu berperan sebagai pencari nafkah dan mengurus keluarga.



B.     FUNGSI KELUARGA
1.      Fungsi Penerus Generasi
Keluarga adalah unit masyarakat terkecil yang terdiri dari ayah dan ibu serta anak keturunan ayah dan ibu. Lahirnya anak adalah akibat dari perkawinan suami dan istri. Perkawinan merupakan realisasi pemenuhan kebutuhan biologis (seksual) manusia yang berlainan jenis kelamin. Pemenuhan kebutuhan biologis hanya dapat dipenuhi dengan sempurna apabila terjadi hubungan seksual antara pria dan wanita. Jika demikian, tujuan pertama perkawinan adalah terpenuhinya kebutuhan biologis (seksual) dan lahirnya anak. Dalam hal ini, keluarga berfungsi sebagai “penerus generasi”, tanpa keluarga tidak ada generasi berikutnya. Fungsi ini disebut juga sebagai “fungsi seksual reproduktif”.
Penerus generasi bergantung pada keberhasilan suami dan istri dalam pemenuhan kebutuhan biologis mereka. Keberhasilan tersebut dibuktikan dengan kelahiran anak akibat hubungan seksual yang mereka lakukan. Anak mereka kemudian menjadi dewasa dan melangsungkan perkawinan pula, sehingga tebentuk keluarga generasi kedua yang diturunkan dari orangtua mereka, dan disusul oleh generasi berikutnya. Karena penerus generasi tadi berasal dari lingkunan keluarga sebelumnya, maka sistem nilai budaya pun ikut dikembangakan terus pada dan oleh generasi berikutnya.
Ada juga kemungkinan bahwa pemebuhan kebutuhan biologis suami istri hanya sebatas menhasilkan kenikmatan dan kepuasan, tetapi tidak berhasil membuahkan kelahiran anak walaupun sudah ditempuh berbagai upaya. Dalam hal ini, terjadi generasi yang hilang atau terputus (lost generation). Dalam kehidupan masyarakat, tidak tercapainya akbita perkawinan masih dapat diatasi dengan cara “pengangkatan anak” (adopsi). Meskipun generasi yang hilang diganti dengan adopsi, mungkin justru adopsi tersebut mendatangkan kebahagiaan dan ketentraman hidup keluarga yang lebih berhasil guna. Hal ini bergantung pada keberhasilan keluarga memelihara, mendidik, dan membimbing anak angkat itu hingga menjadi manusia beriman dan bertaqwa kepad Tuhan YME.
Hukum yang hidup dalam masyarakat makin berkembang, hukum perundang-undangan diperkaya dengan konsep-konsep yang berkaitan dengan anak angkat, yurisprudensi maikn terarah dan menjadi pegangan positif bangi keluarga, masyarakt luas, dan para ahli hukum.

2.      Fungsi Budaya dan Sistem Nilai Budaya
Keluarga adalah pusat interaksi sosial pertama suami dan istri kemudian ditambah anak yang lahir dari hubungan suami dan istri. Karena interaksi tersebut berlangsung lama dan terus-menerus, maka terbentuklah sistem nilai budaya yang bersifat normatif dalam lingkungan keluarga yang menjadi pedoman hidup anggota keluarga.
Karena keluarga itu awal dari kehidupan bermasyarakat, maka perubahan sistem nilai akan terjadi pula dalam lingkungan masyarakat yang lebih luas. Faktor internal yang mempengeruhi kehidupan keluarga antara lain :
a.       Kemauan kerja keras menghidupi keluarga;
b.      Melindungi anggota keluarga;
c.       Memberi contoh berbuat baik kepada keluarga dan lingkungan hidupnya;
d.      Kemampuan menciptakan norma moral bagi kehidupan keluarga.
Apabila terjadi perubahan sistem nilai pada ayah, akan diikuti pula oleh anggota keluarganya. Apabila perubahan sistem nilai itu positif menuju pada kebaikan dan kesejahteraan, hal ini menjadi faktor pendorong ke arah perkembangan budaya yang lebih maju dan sehat. Contoh perubahan sistem nilai positif itu, antara lain :
a.       Budaya malas dan pasif berubah menjadi budaya aktif, kreatif, dan produktif.
b.      Budaya komunikasi kurang terbuka dalam keluarga berubah menjadi budaya kasih sayang, ramah, serta suka memperhatikan dan menghargai pendapat anggota keluarga.
Sebaliknya, apabila perubahan sistem nilai yang dicontohkan ayah itu negatif, hal ini akan menimbulkan dampak yang merugikan nilai-nilai kehidupan keluarga. Dampak merugikan dapat berbentuk peniruan mentah-mentah oleh anggota keluarga terhadap kelakuan yang dicontohkan ayah, bahkan mungkin akan ditiru juga oleh anggota masyarakat di lingkungannya. Beberapa contoh perubahan sistem nilai negatif, antara lain :
a.       Peniruan budaya Barat tanpa menghuraukan aspek keburukannya.
b.      Budaya paguyuban berubah menjadi budaya pamrih (komersial).
c.       Kemauan kerja keras yang produktif berubah menjadi suka bersantai dan konsumif.
d.      Tutur bahasa halus berubah menjadi kasar dalam pergaulan keluarga.
e.       Pergaulan santun berubah menjadi bebas yang mengabaikan etika.
f.       Busana tertutup berubah menjadi mode terbuka dan merangsang.
Adapun bentuk-bentuk reaksi dan sikap oposisi, antara lain  tercermin pada keadaan berikut ini :
a.       Pembangkangan, kebencian, ataupun permusuhan dalam keluarga.
b.      Interaksi dan komunikasi dalam keluarga makin berkurang dan tidak berarti.
c.       Rasa hormat, saling menghargai, dan kasih sayang dalam keluarga makin pudar dan menjadi kurang bermakna.
d.      Keberlakuan norma kehidupan keluarga mulai kendur dan cenderung dilanggar.
e.       Pergi dari dan datang ke rumah tidak pernah lagi terdengar ucapan salam santun.
Faktor eksternal dapat mengubah sistem nilai keluarga menuju ke arah perbaikan dan peningkatan kualitas hidup yang lebih baik daripada keadaan sebelumnya antara lain :
a.       Pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan.
b.      Kegiatan keagamaan.
c.       Pergaulan dan komunikasi.
d.      Pembauran dalam kelompok masyarakat.
e.       Adaptasi budaya setempat dan budaya pendatang.

3.      Fungsi Pendidikan
Dalam pembinaan keluarga, pendidikan pertama bermula dari orangtua di lingkungan keluarga sebelum ke lingkungan sekolah. Pendidikan anak di sekolah sesungguhnya adalah perluasan dan peningkatan dari pendidikan anak di lingkungan keluarga. Dengan kata lain, guru di sekolah adalah perpanjangan dari orangtua di lingkungan keluarga.
Oleh karena itu, ayah sebagai kepala keluarga merupakan figur kunci keberhasilan kesejahteraan keluarga, sedangkan ibu sebagai ibu rumah tangga merupakan figur kunci keberhasilan “pendidikan terapan” bagi anak dalam lingkungan keluarga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar